AYAH, AKU INI ANAKMU!
“Eh, aku mau jadi ibunya, kamu jadi anakku ya….”
“Kenapa aku nggak jadi….”
“Enggak boleh! Nanti yang jadi anakku siapa?”
“Ooh gitu, baiklah…”
Ya, begitu setiap hari. Aku harus mengalah setiap kakak-kakakku
bermain. Aku tidak ingin seperti ini. Setiap kali bermain anak-anakan, aku
selalu jadi anak perempuannya. Setiap kalu bermain masak-masakan, aku yang jadi
pembelinya. Padahal aku ini adalah anak ragil dari tiga bersaudara yang
seharusnya aku mendapatkan perlakuan manja dari kakak-kakakku, bukannya aku
yang mengalah pada mereka.
Begitupun dengan ayahku. Setiap kali ayah membelikan baju-baju baru
buat kakak, aku tak pernah meminta. Aku hanya pura-pura tersenyum saat mereka
berkata, “Bagus nggak, dek? Cocok, kan, dipakai kakak?” Aku mengangguk. Meski
kurang mengerti. Aku bukannya tak mengerti apa maksud dari mereka. Aku hanya
tak mengerti mengapa ayah memperlakukanku seperti ini. Kata ibu, itu karena
ayah menyayangiku.
Lain halnya dengan ibuku. Ibu, walaupun hanya diam saja saat aku
dimarahi oleh ayah, ibu menangis di balik punggung ayah dan cepat-cepat
menyekanya ketika ayah berkata, “Ngapain kamu nangis? Urus aja anak
kesayanganmu sana! Anak nggak tau diuntung!” Kali ini ibu tidak dapat menahan
air matanya. Aku ingin sekali mengusap pipi lembutnya, namun dengan segera ayah
menarik tanganku dan mengunciku di dalam kamar mandi. Bukan. Bukan mengunci.
Tapi mengunci setelah ia menceburkan kepalaku ke dalam bak mandi.
“Udah berapa kali ayah bilang, jangan suka main pakai bedaknya
ibu!”
Dalam hati aku berkata, bukan aku yang menggunakannya yah, tapi
kakak. Namun percuma saja. Jangankan mengelak. Untuk bernafas pun aku
kesusahan. Rongga hidungku sudah penuh dengan air kamar mandi yang bau aroma
kaporit. Ayah, aku tidak bisa bernafas….
Ibu segera membukakan pintu kamar mandi setelah ayah tertidur
pulas. Ibu langsung memelukku saat melihat tubuhku lemas dan bibirku yang biru
karena menggigil kedinginan. Ibu, aku sangat merindukan pelukan hangat dari
ibu. Sudah berapa lama ibu tak memelukku? Aku sampai lupa, lho, bu…. Setelah
mengganti bajuku, ibu menyuapiku dengan bubur ayam sisa penjualan ayah tadi
pagi.
Ayahku bernama Pak Yohannes, ayah bekerja sebagai tukang bubur ayam
keliling di sekitar kompleks sebelah. Kompleksnya para konglomerat yang elit
dan mewah. Ibuku sendiri, Bu Catherine adalah tukang cuci, yang setiap harinya
hanya mendapat upah lima belas ribu rupiah. Ibu, ibu…. Sampai kapan, sih, ibu
harus menahan kesedihan ibu akibat perlakuan ayah padaku? Apa ibu tak sayang
padaku? Lagi-lagi, aku berkata dalam hati….
“Ibu sayang sekali padamu nak, maafkan ibu….”
Aku kaget. Kenapa ibu bisa mendengar suara hatiku? Apa ibu juga memiliki
pendengaran seperti-Mu Tuhan? Yang selalu mendengarkan doa hamba-Nya meski tak
terucap lewat bibir? Belum sempat aku mengucapkan kalau aku juga sayang
padanya, ibu berkata.
“Ibu tahu kamu juga sayang sama ibu. Makasih banyak, ya, nak….”
Ibu melirikkan matanya ke arah kamar depan, tanda menyuruhku untuk
segera tidur, karena hari sudah larut malam. Aku berlari ke kamar, dan seolah
tak menghiraukan perkataan ibu, aku membanting pintu kamar dan tidak segera
tidur. Layaknya adegan sinetron di televisi, aku menyapu seluruh make-up di meja
riasku sambil berteriak dan membuka lemari baju serta mengeluarkan seluruh
isinya. Sebelum mengeluarkannya, aku melihat pakaianku satu per satu. Bukan.
Bukan pakaianku. Tapi pakaian kakak-kakakku. Pakaian mereka yang kini – dengan
terpaksa - aku gunakan. Sebut saja, pakaian warisan.
Kedua kakakku, Kak Gabby dan Kak Clara, adalah dua orang gadis yang
sangat cantik. Tidak hanya cantik, mereka juga baik. Mereka selalu mengajakku
bermain bersama mereka. Ya, benar, selalu dan setiap hari. Kak Gabby, tugasnya
meriasku sampai “cantik”. Dan Kak Clara, tugasnya memilihkan pakaian yang pas
untuk kupakai dan yang terakhir, mereka memamerkanku di depan teman-temannya.
Tidak seperti yang kau bayangkan, mereka bukannya mengagumiku, mereka malah
menertawaiku dan berkata, “Banci, banci….”
Jangan kaget, aku bukan banci. Aku murni lelaki. Hanya saja,
pakaian dan wajahku yang mirip perempuan. Namaku bahkan tidak berbau perempuan.
Namaku Martin. Mungkin mereka mengira aku perempuan jika kau menambah huruf “a”
di belakang kata “Martin”. Jangan, tolong jangan diucapkan lagi. Namaku Martin,
bukan itu.
Kau pasti tidak heran mengapa aku seperti ini. Ya, selain karena
kedua kakakku adalah perempuan, yang menginginkan seorang adik perempuan yang
bisa mereka ajak main dakon atau main bekel, mereka juga suka sekali bermain
denganku. Ya, mempermainkanku. Tapi aku mengerti, mereka menyayangiku. Sama
seperti aku menyayangi mereka. Namun rasa sayangku pada mereka tak sebesar rasa
sayangku pada ibu.
Ibuku, ibu yang sabar dan ramah, sangat menyayangiku. Saking
sayangnya, ibu menyayangiku layaknya ibu menyayangi kakak-kakakku sendiri.
Benar. Semenjak dulu, ibu selalu mengharapkan seorang anak perempuan yang tak
berkulit hitam. Seperti yang kau tahu, Kak Gabby dan Kak Clara berkulit hitam,
dan mewarisi warna kulit dari ayah, yang notabene orang Ambon. Sedangkan aku
sendiri, adalah seorang anak laki-laki – harus aku tegaskan sekali lagi, LELAKI
– yang memiliki kulit putih dan mata sipit karena aku mewarisinya dari ibu.
Meskipun aku adalah seorang laki-laki, ibu tidak pernah
memperlakukanku seperti laki-laki. Aku diperlakukan seperti halnya kakak. Aku
dibelikan baju perempuan, aku sering dipakaikan bando dan jepit-jepit khas
perempuan, aku sering diajari cara duduk, berjalan, dan tertawa, sesuai dengan
tata krama perempuan, bahkan yang lebih parah dari itu, ibu membelikanku
seragam sekolah perempuan!
Jangan salah, aku tak pernah malu memakai rok ke sekolah. Selain
karena lebih sejuk karena bawahnya terbuka, juga karena memang aku sudah kebal
akibat sedari TK hingga SMP aku terlalu sering diejek oleh teman-teman.
Mungkin, mereka juga sudah bosan menertawai dan membuliku. Akupun tak jarang
dipanggil oleh para guru oleh sebab pakaianku yang bisa dibilang tak senonoh
ini. Tapi lagi-lagi ibu membentak mereka sambil berteriak.
“Anak saya ini perempuan! Anak saya yang satu ini adalah yang
paling cantik di keluarga! Jadi jangan sekali-kali ibu menganggapnya sebagai
seorang lelaki karena harus saya tegaskan sekali lagi kalau anak saya adalah
seorang perempuan!”
Begitulah ibu, ibu yang penyabar, namun terkadang emosional. Semua
ini karena tuntutan dari eyang yang selalu saja bertanya, “Sebenarnya mereka
berdua ini anakmu atau anak suamimu, sih? Kok anak-anakmu nggak ada yang persis
kamu. Sama aja nggak punya anak, ya, kamu.” Semenjak itu, ibu berjanji jikalau
ibu dikaruniai oleh Tuhan seorang anak, baik itu laki-laki maupun perempuan,
ibu akan meriasnya sedemikian rupa hingga persis dengannya. Itu cerita dari
kakak. Dan aku percaya begitu saja.
Lain halnya ayah, dari dulu ayah sangat menginginkan kehadiran
seorang anak laki-laki. Ayah yang dulunya adalah pemain sepak bola kabupaten,
juga ingin merasakan bermain bola bersama anak laki-lakinya. Mengajarinya
memperbaiki gerobak ayah yang rusak, menyuruhnya mengganti saluran listrik yang
konslet, dan membantunya memasang tabung gas saat ibu kebingungan karena kompor
di dapur tak mengeluarkan api. Namun itu semua seperti mimpi bagi ayah. Aku
hanya bisa bermain boneka Barbie bersama Kak Gabby, menyisir rambut bersama Kak
Clara, dan aku tahu, dibalik kegarangan ayah, hati ayah pasti menangis.
Aku adalah seorang worship leader. Seorang penyanyi gereja yang
setiap minggunya bernyanyi lagu-lagu rohani yang damai. Jangan salah,
gini-gini, aku adalah penyanyi utama di Gereja Kabupaten. Karena posisiku ini,
aku memiliki banyak kenalan dari berbagai usia. Mulai dari anak kecil,
tante-tante, kakek-kakek, dan para
Pastor, Pendeta, Koster, dan pengurus Gereja lainnya.
“Tuhan pasti sanggup. Tangannya takkan terlambat tuk
mengangkatmu. Tuhan masih sanggup. Percayalah, dia tak tinggalkanmu….”
Suatu hari, setelah melaksanakan tugasku sebagai worship leader, aku
berdoa pada Tuhan, “Saya mengaku, kepada Allah Yang Maha Kuasa bahwa saya
telah berdosa, dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian.
Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa. Oleh sebab itu saya mohon,
kepada Santa Perawan Maria, kepada malaikat dan orang-orang Kudus, supaya
mendoakan saya kepada Allah, Tuhan kita”.
Tanpa sengaja seorang Pastor mendengarku dan menepuk pundakku dari
belakang. Sontak aku kaget. Ia hanya tersenyum dan berkata.
“Ingin bercerita sesuatu?”
Aku hanya menggeleng. Sedikit memaksa, ia berkata lagi.
“Mungkin saya bisa sedikit menenangkan batinmu….”
Apa? Menenangkan batinku? Sambil menepis tangannya aku berkata.
“Hanya Tuhan yang bisa menenangkan batin saya. Bukan Anda.”
Ia pun tersenyum lagi dan berkata.
“Sungguh keras pendirianmu nak…”
Dadaku agak sesak, gejala yang akan membawa sinyal-sinyal maha sempurna
ke pupil dan konjungtivaku untuk meneteskan sedikit cairan. Tanpa terasa aku
menangis sesenggukan. Ingin rasanya aku menceritakan semuanya pada Pastor. Akupun
berbagi kesedihanku dengannya. Aku bercerita bagaimana kakak mengajakku bermain
bersama mereka, bagaimana ibu memperlakukanku, bagaimana ayah menghardikku
dengan kekejamannya….
Gubraak….!!
Suara kursi yang roboh mengagetkanku dan Pastor. Seketika itu juga,
aku teringat akan ayah. Aku segera berlari keluar gereja dan berteriak. Ayaah,
aku sayang padamu…! Pastor itu hanya kebingungan. Belum sempat dia menasihatiku
dengan kalimat-kalimatnya, aku sudah menginggalkannya begitu saja.
Sesampaiku di rumah, aku segera mencari ayah di kamarnya. Tidak
ada. Di dapur. Nihil. Di halaman belakang. Kosong. Bahkan seisi rumah tidak
ada. Kemana mereka sebenarnya? Terdengar musik Fur Elise, seperti ada
yang membunyikannya. Ternyata, ada sms dari ibu.
Martin, ayahmu kecelakaan….
Aku segera berlari ke garasi, mengayuh sepeda Polygonku ke
Puskesmas, dan aku yakin juara Sea Games 2011 untuk cabang olahraga Down Hill
pasti kalah bertanding denganku saat ini. Aku mendaki gunung, lewati lembah
layaknya Ninja Hatori, menuruni jalan berbatu, menelusuri jembatan, dan sampai
ke Puskesmas. Jadi inget kata Dora. Jalan.. Jembatan.. Puskesmas…. Haha,
ketahuan kan kalau aku suka nonton Dora.
PLAK!
Seperti ditampar seorang malaikat, aku berhenti melamun. Bukan
saatnya memikirkan Dora ataupun Ninja Hatori! Pikirkan ayahmu yang kini
terbaring sakit di Puskesmas! Akhirnya, aku sampai di Puskesmas, dan melihat
ibu, serta kakak-kakakku, menangis di samping tubuh ayah.
“Martin, ayahmu….” Ibu berusaha menenangkanku.
Tanpa menangis sedikitpun, aku keluar dari kamar ayah, mengayuh
Polygon kesayanganku ke luar Puskesmas, dan tanpa ada maksud untuk lari dari
kenyataan, aku balik lagi ke arah gereja. Maafkan aku ayah, aku bukannya
melarikan diri. Aku hanya tak ingin membuatmu marah lagi….
Tak berapa lama, aku sampai di gereja. Pastor itu menyambutku
sambil berkata, “Kesedihan apa lagi yang kau dapat?” Sama seperti ibu, ternyata
ia juga bisa membaca hatiku. Dan aku sekarang mengerti. Kita dapat membaca kata
hati seseorang dari matanya. Seketika itu juga, aku meminta pada pastor untuk
mengajariku memperbaiki gerobak yang rusak, mengganti saluran listrik yang
konslet, dan memasang tabung gas. Pastor juga mengajariku bertingkah laku
layaknya lelaki yang gagah dan pemberani. Tak lupa ia mengajariku bermain bola,
agar jika ayah sembuh nanti, aku bisa mengajaknya bermain bola.
Seminggu berlalu, ayah masih saja diarawat di puskesmas, namun Puji
Tuhan, ia sudah siuman. Aku, dengan pakaian ala lelaki yang cool, mengetuk
pintu kamar inap ayah, dan ibu mempersilakanku masuk. Ibu, Kak Gabby, Kak
Clara, menganga melihatku. Mereka melihatku dari bawah sampai atas: sepatu cats
keren, celana jeans yang baru aku beli di KDS, dan kemeja putih milik ayah yang
ia pakai sewaktu ayah melamar ibu. Dan juga, potongan rambut ala Gaston, pemain
sepak bola favorit ayah.
“Kau mirip sekali dengan ayahmu nak….”
“Iya, ternyata kamu cakep juga yaa?”
“Hahaha…” Kak Gabby dan Kak Clara tertawa bersama.
Ayahpun terbangun mendengar tawa mereka. Dan untuk pertama kalinya,
aku memeluk ayah dan berkata padanya.
“Ayah, aku udah bisa memperbaiki gerobak ayah, memasang tabung gas
di dapur, aku udah bisa maen bola yah. Ayah cepet sembuh ya, biar kita bisa
maen bola lagi.”
Ayah hanya tersenyum.
“Lihat nih yah, aku udah mirip ayah belum? Aku cakep kan yah? Aku
udah berubah demi ayah.”
Sekali lagi, ayah hanya tersenyum.
“Ayah, kenapa ayah hanya tersenyum? Jawab aku dong yah.”
Ayah pun diam. Seluruh ruangan sejenak hening.
“Ayah, Martin sayang sama ayah. Ayah juga kan?”
Kemudian ayah berkata, “Kamu siapa?”
Aku sempat kaget. “Aku… aku…. Aku Martin yah. AYAH, AKU INI
ANAKMU!”
Ayah tersenyum lagi.
Lalu.
Ayah menutup mata.
- Cipta Nindya -
Terimakasih sharingnya, pengetahuan bertambah dari sebelumnya. Sungguh sebuah kebaikan bagi kakak penulis. Pacaran Memang Tidak Baik
BalasHapus