Sabtu, 02 Mei 2015

Cerpen: BUNDA ALIYA



BUNDA ALIYA

Mataku masih setengah terbuka ketika tiupan angin pagi yang dingin menembus celah-celah tirai hijau bermotif kupu-kupu yang sedikit berlubang dan berhembus mengenai wajahku. Kurasakan hawa dingin yang kian lama kian membuat tubuh ini menggigil karenanya. Namun layaknya seorang anak yang bandel, aku masih saja menikmati sisa tidurku dan memeluk bantal spongebobku semakin erat, seperti tak mau kehilangan mimpi indah semalam.
Belum sempat aku melanjutkan kisah manis di mimpiku, membuat ending yang indah di kisahnya, jam wekerku berbunyi. Rupanya jarum pendek menunjuk ke angka empat dan jarum panjang menunjukkan angka dua belas. Tepat pukul empat pagi ternyata. Akupun segera bangkit dari kasur, mematikan jam weker, dan kemudian tidur lagi. Ya, begitulah rutinitasku setiap pagi. Bangun, mematikan jam weker, dan kemudian tidur lagi. Hahaa, enaknya jadi anak tunggal.
Dengan setengah tersadar, kudengar suara pintu terketuk dan beberapa kali terdengar suara seorang perempuan yang merdu memanggil namaku berkali-kali. Tak kuhiraukan suara itu. Mataku masih saja tertutup rapat seperti direkatkan oleh lem yang super lengket sehingga aku sangat kesulitan membukanya. Kudengar suara itu memanggil namaku lagi. Kali ini lebih jelas terdengar. Namun lagi-lagi aku masih saja enggan untuk membuka mata dan bangun dari kasurku yang empuk ini.
Pintu kamarku terbuka, ada sedikit paksaan untuk membukanya karena semalam aku meletakkan kursi belajarku di balik pintu itu. Sengaja memang. Agar orang yang membuka pintu ini – yang mencoba untuk membangunkanku – merasa kesulitan dan kemudian menyerah. Akan tetapi usahaku ini tidak berhasil. Pintu dan kursi ini juga sepertinya sengaja tidak mau bekerja sama denganku kali ini. Sial, berhasil terbuka juga!
Kurasakan langkah kaki mendekati tempat tidurku, terasa pula seseorang duduk di kasurku, di sampingku, dan membuka selimut lorek-lorek dengan sedikit belaian lembut di kepalaku. Terdengar lagi suara merdunya,
“Aliya…. Aliya sayang…. Bangun nduk…. Sudah pagi ini….”
“Iya, iya Nda…. Sek ta, sebentar….”
“Ayo bangun sayang, anak perempuan jam segini kok belum bangun?”
“Biar dah Nda, ngantuk aku….”
“Cepet bangun, sholat subuh dulu! Selak habis subuhnya….”
Aku pun bangun, cepat-cepat melangkah ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan kemudian dengan tergesa-gesa lari ke kamar lagi untuk sholat subuh. Aku masih sempat saja melirik jam wekerku. Jam lima lima belas! Hwaaa…! Aku kesiangan untuk sholat subuh! Aku segera membentangkan sajadah sebagai alas untuk sholat. Gerakanku sangat cepat, secepat senam aerobic yang ada di televisi.
Aku menoleh ke kiri untuk salam yang terakhir, kemudian melirik lagi kearah jam weker lagi. Ternyata sholatku cuma lima menit. Sebelum aku melepas mukenah, aku sempatkan berdoa kepada Allah Yang Maha Baik untuk keselamatanku dan Bundaku, baik di dunia maupun di akhirat. Itulah yang dulu sering diajarkan oleh almarhum Ayah setiap sehabis sholat. Tak lupa pula aku mengirim surat Al-Fatihah untuk Ayah di surga sana, dengan harapan semoga Ayah melihatku dan mengerti bahwa anak perempuannya satu-satunya ini sangat merindukannya.
Belum selesai ake melepas mukenah, kakiku segera menopangku untuk berdiri dan memaksaku untuk melangkah ke tempat tidurku lagi. Punggungku rasanya sangat berat dan meminta untuk direbahkan lagi ke kasur. Aku tidur lagi dengan masih memakai mukenah. Aku memang anak yang bandel.
“Aliya…. Habis sholat subuh kok tidur lagi? Hmm, anak bunda mulai nakal ya…. Bunda bilangin Ayah, lho….”
“Lima menit lagi ya, Nda….”
“Ndak ada lima menit-lima menitan! Ayo cepet bangun! Dilepas mukenahnya…. Haduuh, najis ini nanti….”
“Gendong, Nda….”
“Anak manja….”
Tangan lembutnya segera membuka mukenahku, kemudian mengangkatku dengan sekuat tenaga dan menopang kepalaku dengan pundaknya. Dia menggendongku. Aku tahu aku berat. Namun wajah cantiknya tampak tulus membawaku. Kudengar dia bernyanyi.
Haruskah ku pergi, tinggalkan dunia, agar aku dapat berjumpa denganmu…
Sepertinya bunda juga merindukanmu, Ayah.
Belum selesai aku menikmati suara merdunya, aku sudah didudukkan di kursi meja makan dan mataku tiba-tiba terbelalak melihat hidangan yang disajikan oleh Bunda yang sudah tertata rapi di meja makan. Ada sayur sop, perkedel kentang, dan tempe goreng. Sederhana memang. Namun makanan ini mengingatkanku pada suatu hal. Ini kan makanan kesukaan Ayah. Sambil bunda mengambilkan nasi di piring, aku bertanya sesuatu padanya.
“Bunda kangen sama Ayah?”
“Hmm….” Bunda pun tertunduk sedih.
“Aliya tadi malem mimpiin Ayah. Aliya lihat Ayah tersenyum. Cakep banget….”
“Oh ya? Terus gimana sayang?” tanyanya dengan penuh harap.
“Ayah bilang, Aliya harus jagain bunda. Aliya ndak boleh bikin bunda nangis, Aliya harus bikin Bunda senyum.”
“Ayah bilang gitu?”
“Iya, Nda…. Makanya bunda jangan sedih, senyum ta….”
Bunda pun tersenyum mendengar ceritaku, kulihat lesung pipit di pipinya, menambah indah senyum wanita usia 35 tahun itu. Seraya menyuapiku, Bunda mengajakku berbelanja ke pasar. Pergi ke pasar mungkin adalah acara rutin kami setiap hari Minggu. Disana kami biasa membeli kebutuhan pokok seperti beras, sayur-mayur, dan lauk pauk.

******************
Namaku Aliya. Lengkapnya, Aliya Macayla Izzah. Macayla adalah nama Inggris, yang artinya anugerah, sedangkan Izzah adalah nama Arab, yang berarti kemuliaan. Aliya sendiri artinya keturunan bangsawan. Kata Bunda, almarhum Ayah dulunya adalah bangsawan dari Keraton Surakarta. Semenjak Ayah meninggal, Bunda, yang dulunya adalah istri seorang bangsawan, kini telah melepaskan diri dari naungan Keraton Surakarta dan pindah ke Semarang bersamaku dengan alasan agar lebih dekat dengan Eyang Putri dan Eyang Kakung. Walaupun sudah pindah ke Semarang, Bunda tidak mau tinggal di rumah Eyang. Bunda lebih memilih mencari kontrakan kecil di pinggiran Kota Semarang yang jaraknya 30 km dari rumah Eyang.
Rumahku boleh dikatakan kecil. Hanya ada 5 ruangan di dalamnya. Kamarku, kamar Bunda, kamar mandi, dapur, dan sebuah ruang tamu kecil. Ruang tamu, bagi kami adalah sebuah ruangan yang sangat multifungsi. Ia bisa menjadi ruang keluarga, bisa menjadi ruang makan, dan bahkan bisa menjadi ruang kerja bagi Bunda. Bunda biasa menyetrika pakaian orang-orang yang menitipkan pakaiannya utuk dicuci dan disetrikakan di ruang tamu. Ya, Bunda membuka usaha laundry. Dengan tangannya sendiri, Bunda mampu menafkahiku dan menyekolahkanku hingga kini dan berjuang melawan kerasnya kehidupan tanpa sesosok pendamping disisinya. Aku tahu, bukanlah suatu kesalahan bagi Bunda untuk memerankan lakon sebagai single parent.
Aku sendiri adalah seorang siswi kelas 5 di MI Insan Terpadu Semarang. Bunda memilih menyekolahkanku di MI, bukan di SD karena Pendidikan Agama Islam yang kudapat tentunya lebih banyak daripada di SD. Meski MI Insan Terpadu adalah sebuah lembaga sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas asrama, Bunda tidak pernah mencoba untuk menitipkanku di asrama sekolah. Mungkin karena rasa sayangnya yang teramat kepadaku, hingga Bunda tak mau melepaskanku sedikitpun, sedetikpun, meski hanya untuk menginap di asrama dan pulang ke rumah pada hari Sabtu. Hmm, bener kan Bunda ? Bunda sayang kan sama Aliya? Hihihii… Aliya juga sayang kok sama Bunda…
Menjadi seorang siswi di MI Insan Terpadu, aku dibekali dengan tidak hanya ilmu umum, namun juga ilmu agama layaknya di pondok pesantren dan ilmu keterampilan kehidupan atau yang biasa dibilang Life Skill layaknya di SMK. Di sekolah, aku mengikuti Life Skill Tata Busana. Disitu aku diajari cara merancang model busana, menjahit, merajut, dan menyulam. Tentunya, ilmu yang aku dapat ini masih dasar dan disesuaikan dengan ukuran anak seusiaku.
Terkadang, aku mempromosikan usaha laundry Bundaku pada teman-teman dan guru-guruku. Bunda selalu gembira tatkala menyambutku tiap pulang sekolah dengan membawa cucian kotor milik teman-teman. Aku tidak pernah merasa malu ataupun merasa jijik membawa beberapa kantong pakaian kotor dan bau milik mereka. Bagiku, pakaian kotor adalah rezeki dan pakaian bersih adalah senyum bagi Bunda. Karena senyum Bunda adalah segalanya bagiku.

******************
“Aliya…. Buruan sayang…. Keburu siang entar panas kita jalan ke pasarnya….”
“Iya…. Sebentar Bunda….”
Pyaaaar….!!!
Aku memecah celengan ayamku, dan mengambil beberapa uang ribuan di dalamnya. Sesungguhnya aku selama ini menabung karena ingin membeli sepatu putih baru seperti milik teman-temanku. Tapi karena seminggu lagi adalah Hari Ibu, aku ingin membeli beberapa benang rajut untuk kurajut menjadi syal yang nantinya akan kuberikan pada Bunda sebagai kado di Hari Ibu.
“Bunda, hari ini mampir ke Toko Isna ya…. Aliya mau beli benang rajut.”
“Aliya dapet tugas merajut ya dari Ustadzah di sekolah?”
“Ehmm… Iya Bunda…” ujarku berbohong.
“Aliya mau ngerajut apa? Biar Bunda bantu.”
“Gak usah, Bunda! Gak usah! Aliya mau ngerjain tugas Aliya sendiri….”
Aku menolak bantuan Bunda. Maafkan Aliya, ya, Bunda. Aliya mau bikin kejutan buat Bunda. Nanti kalau Bunda bantuin, kan ga seru jadinya.
Sesampainya kami di pasar, Bunda menggandengku dan mengajakku ke Toko Isna. Itulah Bundaku, selalu mendahulukan kepentinganku daripada kepentingannya sendiri. Padahal Bunda harus membeli detergen bubuk dan pelembut pakaian yang mulai habis karena banyaknya pesanan cucian.
“Beli benang rajut buk, beli lima gulung.”
“Warna apa dek?” Tanya si penjaga toko sambil menyodorkan beberapa gulung benang.
“Yang warna putih aja, nduk…” bisik Bunda di telingaku.
“Bunda suka warna putih?” tanyaku padanya.
“He’em….” Bunda mengangguk sambil tersenyum.
“Yaudah buk, beli benang rajut yang warna putih ya. Lima gulung.”
“Lima ribu, dek.”
“Makasih buk….”
Setelah membeli detergen dan pelembut pakaian, kami pun pulang dengan berjalan kaki. Setelah beberapa menit berjalan kaki dan mengobrol tentang banyak hal, kami sampai di rumah kecil kami. Di depan pintu rumah, sudah ada sekantong plastik berisi cucian kotor. Rupanya ada sekantong rezeki menyambut kami. Aku pun membantu membawakan kantong plastik berisi cucian kotor itu ke kamar mandi.

******************
Hari ini hari Minggu, tanggal 22 Desember 2008, tepatnya Hari Ibu. Hari ini sengaja aku bangun pagi-pagi sekali, bahkan sebelum adzan subuh, dan tidak tidur lagi setelah sholat hanya untuk melanjutkan rajutan syalku yang belum selesai. Karena aku ingin memberikan syal ini nanti sepulang Bunda dari pasar, berarti aku harus menyelesaikannya pagi ini juga.
“Aliya, anterin Bunda ke pasar dulu ya….”
Bunda mengajakku ke pasar dari balik pintu. Pagi ini tidak seperti biasanya, Bunda tidak membangunkanku. Padahal sejak sehabis sholat subuh tadi aku belum keluar dari kamar sama sekali. Tapi gak papa deh, kan kalau Bunda masuk kamar, bisa ketahuan kalau aku selama ini ngerajut syal sembunyi-sembunyi.
“Bunda…. Aliya masih ngerjain tugas. Ke pasarnya lain kali aja ya….”
“Sebentar saja sayang…. Temenin bunda ya….”
“Aliya sibuk, Nda….”
“Hmm…. Tumben kamu nolak ajakan Bunda.”
Aku tak menghiraukan ajakan Bunda. Aku memang sengaja tak mengindahkannya karena aku ingin memberi kejutan pada Bunda setelah Bunda pulang dari pasar nanti. Aku tak bisa membayangkan bagaimana wajah Bunda nanti setelah aku memberikan syal ini untuknya. Pasti Bunda sangat senang.
“Aaaw….”
Jariku telunjukku tertusuk jarum rajut. Sambil mengemut jari yang tertusuk, aku menoleh ke arah jam dinding di ruang tamu. Sudah jam 11 siang tapi Bunda belum juga datang dari pasar. Tak biasanya Bunda belum tiba di rumah sampai sesiang ini. Setelah menyelesaikan rajutanku, aku segera mengambil jaket dan memakai jilbab, berniat untuk menjemput Bunda ke pasar. Tak lupa aku membawa syal yang sudah satu minggu ini aku rajut untuk kuserahkan pada Bunda di perjalanan pulang nanti.

******************
Kulihat sekerumunan orang mengerubungi sesuatu. Sepertinya ada orang yang kecelakaan. Tabrak lari rupanya. Aku sama sekali tak ingin melihatnya, karena aku tahu Bunda pasti menungguku. Aku harus cepat-cepat ke pasar. Belum satu meter aku melangkah, kerumunan menjadi semakin banyak dan aku mendengar salah seorang berteriak,
“Ya Allah, Bu Nadia….”
Apa? Bu Nadia? Aku ga salah denger kan?
Aku segera membalikkan badanku dan melihat apa yang terjadi sebenarnya. Ternyata memang benar itu Bunda. Ya, Bunda Nadia, Bundaku yang tersayang. Tiba-tiba saja syal yang aku pegang terbang, terbang bersama nyawa Bunda dan menghilang bersama senyuman Bunda. Hujanpun turun, rupanya langit menangis melihat kepergian Bunda. Tapi aku tak menangis, Ayah. Aku tak ingin menangis. Aku ingin engkau menyambut Bunda di surga, dan hidup bahagia disana.
Maafkan Aliya, Bunda. Aliya belum bisa jadi anak yang baik buat Bunda. Aliya bahkan tidak mengantarkan Bunda ke pasar untuk yang terakhir kali. Aliya…. Aliya sayang sama Bunda. Selamat Hari Ibu, Bunda…


-  Cipta Nindya -

0 komentar:

Posting Komentar