Ini ada sedikit info tentang tokoh Islam.
Hmm.. Sebenernya ini tugas sekolah adik.. -_-
Tapi apapun itu, semoga bermanfaat.. :)
Hmm.. Sebenernya ini tugas sekolah adik.. -_-
Tapi apapun itu, semoga bermanfaat.. :)
SAYYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Nama lengkapnya
adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bin Shafdar Al-Husaini yang lahir pada
tahun 1835 M di As’adabat dekat Kota Kunar yang termasuk kawasan distrik Kabul
bagian timur Afghanistan. Ayahnya bernama Shafdar Al-Husaini, seorang bangsawan
terhormat dan mempuyai nasab sampai ke Ali bin Abi Thalib dari jalur
At-Tirmidzi, seorang perawi hadis yang termasyhur.
Di masa kecilnya
Al-Afghani pindah ke kota Kabul beserta keluarganya. Sejak masa kecilnya telah
nampak pada diri Al-Afghani kecerdasan dan kemauan yang besar
untuk menggali pengetahuan. Dalam usia delapan tahun ia mulai
belajar disiplin ilmu dan menguasai beberapa ilmu, diantaranya
Al-Quran, bahasa Arab, hadits, fiqih, ilmu kalam, politik, sejarah, musik dan
termasuk ilmu-ilmu eksak.
Dalam rangka
menambah wawasan pengetahuannya, Al-Afghani melanjutkan studi ke India dan
menetap disana selama satu tahun untuk belajar pengetahuan-pengetahuan
Barat dan metodologinya serta bahasa Inggris. Tahun 1857 ia menunaikan ibadah
haji ke mekah dan sekembalinya di Afghanistan, ia diangkat menjadi pembantu
pangeran Dost Muhammad Khan.
Pada
taun 1864, Al-Afghani menjadi penasehat Sher Ali Khan dan pada masa
Muhammad Azzam Khan menjadi perdana menteri. Karena terjadinya konflik dalam
negeri Afghanistan, ia kembali menuju India untuk kedua kalinya pada tahun
1869. Saat itu India jatuh ke tangan Inggris, oleh karenya ia
memutuskan untuk menuju Mesir pada tahun 1871. Di Mesir
ia sempat berkenalan dengan kalangan ulama Al-Azhar dan memberikan
kuliah. Selanjutnya Al-Afghani pergi ke Turki dan diangkat sebagai anggota
Majelis Pendidikan Turki dan sering diundang untuk menyampaikan ceramah di
Aya Shofia dan Masjid Sultan Ahmad.
Karena
keberadaanya yang dianggap membahayakan posisi kepala pemerintahan, timbullah
fitnah yang dilancarkan oleh Hasan Fahmi Syaikh Al-Islam dengan
mengatakan bahwa ceramah-ceramah Al-Afghani banyak mengandung unsur
penghinaan terhadap kenabian. Dengan alasan ingin menunaikan haji,
maka Al-Afghani meninggalkan Turki dan kemudian menetap di Mesir hingga
tahun 1879. Pada masa inilah ide pemikiran dan
aktivitas memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia Islam khususnya
Mesir.
Al-Afghan telah
mengunjungi beberapa kota di Eropa bahkan menetap di sana. Tahun 1882 berada
diLondon, lalu satu tahun kemudain ke Paris, dan kembali lagi
menetap di London tahun 1885. Selanjutnya ke Teheran, ke Moscow
tahun 1887, ke Jerman dan akhirnya kembali lagi ke Teheran.
Pengalaman
merantau inilah yang kemudian membentuk wawasan berfikirnya yang
luas, bebas dan demokratis yang tentunya telah banyak melahirkan banyak murid
asli didikan dan binaan yang dilakukan Al-Afghani yang mewarnai sejarah
pemikiran di dunia Islam. Akhirnya pada tahun 1897 ia wafat di Istanbul karena
sakit.
Abad ke 19 hingga
abad ke 20 merupakan suatu momentum dimana umat Islam memasuki suatu gerbang
baru, gerbang pembaharuan. Fase ini kerap disebut sebagai abad modernisme,
suatu abad dimana umat diperhadapkan dengan kenyataan bahwa Barat jauh
mengungguli mereka. Keadaan ini membuat berbagai respon bermunculan, berbagai
kalangan Islam merespon dengan cara yang berbeda berdasarkan pada corak
keislaman mereka. Ada yang merespon dengan sikap akomodatif dan
mengakui bahwa memang umat sedang terpuruk dan harus mengikuti bangsa Barat
agar dapat bangkit dari keterpurukan itu. Ada pula yang merespon
dengan menolak apapun yang datang dari Barat sebab mereka beranggapan bahwa itu
diluar Islam. Kalangan ini menyakini Islamlah yang terbaik dan umat harus
kembali pada dasar-dasar wahyu, kalangan ini kerap disebut dengan kaum revivalis.
Berbagai nama
tokoh pun segera tampil dalam ingatan ketika disebutkan tentang abad modernisme
Islam yang ditandai dengan dominasi Eropa ini. Dominasi Eropa atas dunia Islam,
khusunya di bidang politik dan pemikiran ini ditanggapi dengan beragam cara
sehingga melahirkan kalangan modernis dan fundamentalis. Modernisme cenderung
akomodatif terhadap ide Barat meskipun kemudian mengembangkan sendiri ide-ide
tersebut, sedangkan fundamentalisme menganggap apa–apa yang datang dari Barat
adalah bukan berasal dari Islam dan tak layak untuk diambil. Fundamentalisme
merupakan suatu paham yang lahir atau besar setelah fase modernisme.
Berbicara abad
pembaharuan dalam Islam, maka tak lepas dari seorang tokoh yang merupakan sosok
penting dalam pembaharuan Islam, Al-Afghani, seorang pembaharu yang memiliki
keunikan, kekhasan, dan misterinya sendiri. Berangkat dari pembagian corak
keIslaman di atas, Afghani menempati posisi yang unik dalam menanggapi dominasi
Barat terhadap Islam. Di satu sisi, Afghani sangat moderat dengan mengakomodasi
ide-ide yang datang dari Barat, ini dilakukannya demi memperbaiki kemerosotan
umat. Namun di lain sisi, Afghani tampil begitu keras ketika itu berkenaan
dengan masalah kebangsaan atau mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
keIslaman. Alhasil Afghani memijakkan kedua kakinya di dua sisi berbeda, ia
seorang modernis tapi juga fundamentalis. Agaknya tepat apa yang dikatakan
Black bahwa Afghani adalah puncak dari kalangan modernis dan fondasi bagi
kalangan fundamentalis.
Sayyid Jamaluddin
Al-Afghani (1838/9-1897) merupakan salah satu tokoh yang pertama kali
menyatakan kembali tradisi Muslim dengan cara yang sesuai untuk menjawab
berbagai problem penting yang muncul akibat Barat semakin mengusik Timur Tengah
di abad kesembilanbelas.
Sebagai modernis
Islam pertama, yang pengaruhnya dirasakan di beberapa negara, Afghani memicu
kecenderungan menolak tradisionalisme murni dan westernisme murni.
Meski Afghani di kemudian hari –dan sejak meninggalnya– dikaitkan khususnya
dengan Pan-Islam, dimana tulisan Pan-Islamnya menjadi bagian penting dari
dasawarsa 1880-an. Dalam hidupnya dia mempromosikan berbagai sudut pandang yang
sering bertentangan. Dan pikirannya juga memiliki afinitas dengan berbagai
kecenderungan di dunia Muslim. Ini meliputi liberalisme Islam yang diserukan
khususnya oleh Muhammad Abduh, orang Mesir yang menjadi muridnya.
Pada masa mudanya
ia dididik di Iran, dan juga di kota-kota suci Syiah di Irak dia piawai dalam
filsafat Islam dan juga dalam Syiah mazhab Syaikhi, yang merupakan ragam Syiah
yang sangat filosofis pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas.
Tak seperti dunia
Arab dan Turki, di mana kebanyakan filsafat yang mendapat inspirasinya dari
Yunani selama berabad-abad tidak diajarkan karena dianggap menyimpang dari
Islam, di Iran tradisi filsafat terus berlangsung. Buku-buku karya Ibn Sina dan
di kemudian hari karya filosof Iran diajarkan di sekolah keagamaan.
Ketika Afghani ke
Istanbul, pada tahun 1869-70, dia mengemukakan gagasan yang bersal dari filosof
Islam. Dan ketika ke Mesir pada 1870-an, dia mengajar murid-murid mudanya
terutama tentang filosof-filosof Iran ini.
Perjalanan yang
panjang dalam hidup Afghani dilalui dengan berdakwah di banyak negara. Pada
usia yang masih muda, sekitar 20 tahun, Afghani sudah pergi ke India dan
berjuang untuk mengusir pemerintahan Inggris dari bumi Muslim di India. Setelah
tinggal di India, Afghani pergi haji ke Makkah, lalu ke kota-kota suci Syiah,
dan kemudian ke Afghanistan lewat Iran. Perjuangannya yang anti Inggris ini
menyebabkan Afghani harus keluar dari Afghanistan pada Desember 1868, karena
jatuhnya Azham Khan dan naik tahtanya ShirĂ¢ Ali yang pro Inggris. Kemudian dia
ke Bombai, Kairo, lalu ke Istanbul pada 1869.
Pada 1870,
Afghani diangkat menjadi menjadi Dewan Pendidikan Al-Utsmaniah resmi yang
reformis. Karena ikatannya dengan berbagai ahli pendidikan terkemuka, dia
diundang untuk menyampaikan kuliah umum. Namun kuliah umum ini menimbulkan
reaksi yang keras dari para ulama, karena dianggap menyimpang dari agama.
Akibatnya Afghani diusir dari Istanbul.
Setelah itu
Afghani pergi ke Kairo. Di Kairo ini mendirikan Koran yang membahas isu-isu
politik. Seiring dengan perubahan kekuasaan di Mesir, di bawah Pemerintahan
yang Pro Inggeris, Taufiq. Afghani akhirnya diusir dari Mesir karena sikapnya
yang anti Inggris. Kemudian Afghani pergi ke Hyderabad di India Selatan. Dari
India Afghani ke London, dan kemudian pada 1883 ke Paris. Di Paris Afghani
bersama dengan Muhammad Abduh, mereka menerbitkan koran berbahasa Arab, Al-Urwah
Al-Wutsqa yang mendapat subsidi dari para pengagum. Sebelum meninggal pada
tahun 1987 di Iran, Afghani sempat juga pergi ke Rusia, Eropa dan Irak.
Afghani merupakan
figur besar dalam dunia Muslim. Penekanannya bahwa Islam merupakan kekuatan
yang sangat penting untuk menangkal Barat dan untuk meningkatkan solidaritas
kaum Muslim, seruannya agar ada pembaruan dan perubahan di dalam sistem politik
despotis yang berbendera Islam, serta serangannya terhadap mereka yang memihak
imperialisme Barat atau yang memecah-belah umat Muslim, semuanya merupakan
tema-tema yang diperjuangkannya.
Pemikiran
Tidak adanya
kebersatuan di antara umat muslim merupakan titik strategis yang digunakan oleh
kolonialisme Barat untuk menjajah dan sedapat mungkin mengeruk kekayaan
negara-negara Islam. Lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat
terhadap ilmu-ilmu Islam sendiri bahkan juga ilmu-ilmu lainnya menjustifikasi
bahwa semangat intelektual yang sangat diagung-agungkan oleh Islam pudar kala
itu.
Dengan segenap
kesadaran dan semangat intelektual serta tanggung jawab sebagai seorang muslim,
ia hadir demi menegakkan nasionalisme, patriotisme serta yang paling utama
adalah izzul (kemuliaan) Islam. Ia berusaha menyadarkan masyarakat
muslim yang masih sakau dalam mengenang kejayaan Islam di masa lalu, padahal
dihadapan mereka berdiri kekuatan besar imperialisme Barat yang telah
menghadang. Menurutnya, sudah selayaknya Islam bangkit dan melakukan gerakan
intelektual ke depan mengikuti gerak pengetahuan modern.
Diperlukan
perubahan radikal dalam pandangan umat, kecenderungan kepada keyakinan
tradisional yang kaku harus ditransformasi pada keterbukaan pikiran dan
rasionalisme yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Labih lanjut Al-Afghani
menekankan akan semangat pengetahuan yang kala itu sedang redup di dunia Islam,
dan malah bersemi di dunia Barat. Semangat yang ada di dunia Barat ini selaras
dengan nilai-nilai Islam sejati yang seharusnya juga bersemi di kalangan
masyarakat muslim.
Dengan demikian
demi terealisasinya keinginanya dalam memajukan islam, setidaknya terdapat dua
keadaan yang mesti dilakukan oleh umat muslim. Pertama, perubahan
radikal signifikan dalam pola pikir mengenai ilmu pengetahuan dari yang
sebelumnya bercirikan kekakuan kepada keterbukaan dan rasionalisme. Kedua,
perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan yang dilakukan oleh imperialisme
Barat.
Berkenaan dengan
keadaan yang kedua, hal ini dapat kita lihat dari berbagai aktivitas yang ia
lakukan, baik melalui tulisan-tulisannya atau pun melalui dakwah-dakwah yang ia
sampaikan di berbagai belahan negara. Pada setiap negara yang ia pernah tinggal
di sana, ia selalu menyerukan nasionalisme, terlepas dari agama yang
dianut oleh suatu negara~. Di India misalnya yang kala itu sedang mengalami
kondisi kritis, yakni berada di bawah kolonialisme Inggris, ia lebih mendukung
nasionalisme urdu ketimbang Islam, karena tidak ada kebahagiaan selain dalam
kebangsaan, dan tidak ada kebangsaan selain dalam bahasa. Dengan demikian
yang menjadi inti dari seruannya adalah perlawanan terhadap imperialisme
barat. Demikian juga di Afghanistan dan Mesir yang juga berada
di bawah imperialisme barat, yakni Inggris. Usahanya dalam menghapus intervensi
asing akhirnya harus kandas, karena kedua penguasa di dua negara Islam tersebut
berada di bawah bayang-bayang mereka yang akhirnya membuatnya tersingkir serta
terusir. Kendati demikian, ia tidak patah semangat, melalui gerakan intelektual
yang ia adakan di rumahnya sewaktu ia berada di
Mesir, ia berdakwah serta berdiskusi dengan para cendekiawan,
mahasiswa, serta tokoh-tokoh gerakan. Begitu juga dengan yang ia lakukan di
Paris (Prancis) dengan mendirikan suatu organisasi, al-Urwatul Wutsqa.
Organisasi ini
menerbitkan jurnal yang berisi seruan kepada umat muslim agar bersatu serta
meninggalkan jubah fanatisme kelompok dan menolak penjajahan, menepis berbagai
propaganda Barat terhadap dunia Islam yang menghasut kaum muslim agar
meninggalkan Islam, karena selama seseorang masih berpegang teguh pada suatu
agama niscaya ia tidak akan bangkit dari keterpurukan.
Kiprah Politik
Terkenal sebagai
orator ulung dan politikus sejati, Al-Afghani selalu mendasarkan kegiatan agama
dan politiknya pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Ia adalah
seorang yang anti terhadap pemerintahan otoriter. Menurutnya, sistem
pemerintahan yang sesuai dengan kondisi umat muslim adalah pemerintahan
konstisusional atau republik dan konsep kewarganegaraan aktif. Bukannya tanpa
sebab, pemerintahan otoriter tidaklah jauh berbeda dengan tirani. Bentuk
pemerintahan seperti ini menafikan keaktifan warga negara selain juga rentan
terhadap monopoli asing yang langsung tertuju pada penguasa suatu negara. Hasilnya
dapat dilihat, dengan mudahnya imperialisme Barat menguasai serta
mengintervensi bentuk pemerintahan absolut yang banyak digunakan sebagai sistem
pemerintahan di banyak negara Islam.
Dalam perjuangan
politiknya, Afghani kerap berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, ini
dilakukannya sebab seringkali pada suatu negara ia mengalami pngusiran oleh
penguasa setempat. Namun demikian talenta politik Afghani memang telah tampak
sejak awal, bahkan ia lebih menonjol sebagai seorang aktivis gerakan politik
ketimbang pemikir keagamaan. Pendapat tersebut dipaparkan Harun Nasution yang
juga ia kutip dari berbagai pendapat semisal Stoddart maupun Goldzhier.
Pandangan ini
memang bukan sekadar komentar, tapi suatu pandangan yang memiliki dasar. Jika
kita amati kronologi perjalanan hidup Afghani, maka kita akan mendapati agenda
beliau dipenuhi dengan aktivitas politik. Talenta politik ini memang sudah
tampak sejak dini. Pada usia 22 tahun, ia membantu pangeran Dost Muhammad Khan
di Afghanistan, lalu pada usia kurang lebih 25 tahun ia menjadi penasihat Sher
Ali Khan, dan beberapa tahun setelah itu Afghani diangkat sebagai perdana
menteri oleh A’zam Khan.
Perjalanan
politiknya ke berbagai negara pun patut mendapat sorotan, semua ia lakukan
untuk menggoyang posisi penguasa yang otoriter, penguasa yang keluar dari rel
amanat, dan juga untuk melawan dominasi barat atas negeri-negeri muslim. Namun
ia kerap kali terlibat pertentangan dengan para pemimpin, kendati pemimpin
itulah yang telah mengundangnya masuk ke negaranya. Misalnya saja pada
kasus Iran, ia diundang ke Iran untuk urusan Iran-Rusia, namun
sikap otoriter Syah membuatnya menentang Syah dan berpendapat bahwa Syah harus
digulingkan. Namun pendiriannya ini membuatnya terusir dari Iran. Nasib
yang lebih tragis diterimanya ketika ia Berada di turki, alih-alih menjadi
penasihat Sultan Hamid II, Afghani malah berakhir sebagai
tahanan kota hingga akhir hayatnya.
Gagasan
Pan-Islamisme Al-Afghani
Pengalaman yang
diserap Al-Afghani selama lawatannya ke Barat menumbuhkan
semangatnya untuk mamajukan umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan
Prancis mulai hendak menancapkan dominasi politiknya di dunia
Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-afghani. Adanya anggapan dasar yang
dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti diungkapkan L. Stoddard,
yakni :
-
Dunia
Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila
menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya.
-
Semangat
perang Salib masih tetap berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini
terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang
Kristen.
-
Negara-negara
Kristen membela agamanya. Mereka memandang negara Islam lemah, terbelakang dan
biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan dan menghalangi kemajuan
Islam.
-
Kebencian
terhadap umat Islam bukan hanya sebagian mereka, tetapi seluruhnya. Mereka
terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya.
-
Perasaan
dan aspirasi umat Islam diejek dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan
patriotosme di Barat, di Timur disebut fanatisme.
Menurut
Al-Afghani, hal-hal tersebut di atas menuntut adanya persatuan umat Islam
untuk menghadapi dunia Barat dan mempertahankannya dari keruntuhan.
Disamping itu Al-Afghani melihat bahwa kondisi umat Islam sendiri memang berada
dalam kemunduran yang mengkhawatirkan.
Kemunduran tersebut menurutnya bukan karena ajaran Islam,
tetapi oleh umat itu sendiri yang yang tidak berupaya mengubah nasibnya.
Perpecahan
terjadi di kalangan mereka maka pemerintahan menjadi
absolut, pemimpin tidak dapat dipercaya, lemah dalam bidang militer
dan ekonomi bersamaan dengan datangnya intervensi asing.
Menghadapi paham
fatalisme, Al-Afghani mengajak umat Islam merebut peradaban, kebudayaan, ilmu
pengetahun Barat yang positif dan sesuai ajaran Islam. Dengan demikian, umat
Islam akan dinamis dan tidak menerima apa adanya serta menyerukan bahwa pintu
ijtihad tidak tertutup. Ia selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam ada
kemerdekaan dan kedaulatan umat. pemerintah dapat saja dikritik dan
tidak berkuasa mutlak.
Al-Afghani
mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekerjasama dalam meraih
kemajuan dan membebaskan diri dari itervensi Barat.Untuk tujuan di
atas, Al-Afghani mencetuskan ide Pan Islamisme. Semangat ini dikobarkan
ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam kemunduran dan dominasi Barat.
Pan Islamisme (Al-Jami’iyyah
Al-Islamiyyah) ialah rasa solidaritas seluruh umat Islam. Solidaritas
seperti itu sudah ada dan diajarkan sejak Nabi SAW, baik dalam menghadapi kafir
Quraisy ataupun dalam kegiatan-kegiatan sebagai upaya
menciptakan kesejahteraan umat.
Semangat pan
Islamisme yang diserukan Al-Afghani memberikan pengaruah besar di kalangan umat
terutama bagi para pemimpinnya. Hal ini kemudian menyadarkan mereka
akan besarnya ancaman Barat. Sultan Abdul Hamid dari Kerajaan Turki Usmani
misalnya menyambut dengan penuh antusias. Ia mendirikan organisasi seruan
Pan-Islamisme mengutus banyak orang ke berbagai negeri Islam dengan pesan agar
umat Islam bersatu dan melepaskan diri dari pemerintahan
Barat. Hal ini dilakukan oleh Sultan selama 30 tahun.
Seruan
Pan-Islamisme menghasilkan pengaruh yang sangat besar dan mendalam.
Di berbagai negeri muslim telah lahir tokoh-tokoh di kalangan ummat yang
berjuang menuntut kemerdekaan dari penjajah Barat, seperti Abdul Hamid di
Turki, Muhamamd Abduh dan Saad Zaghlul di Mesir serta tokoh lainnya.
Konsep Negara
menurut Al-Afghani
Selain
Pan-Islamisme, Al-Afghani juga mengajukan konsep negara republik yang
demokratis bagi negeri-negeri Islam. Al-Afghani banyak mencela sistem
pemerintahan umat Islam yang bercorak otokratis monarki absolut. Menurutnya,
kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang
memiliki banyak pengalaman. Pengetahuan manusia secara individu amat
terbatas. Islam dalam pandangan Al-Afghani menghendaki pemerintahan Republik di
mana kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk
kepada Undang-undang.
Menurut
Al-Afghani, Islam menghendaki bentuk republik karena di dalamnya
terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada
Undang-Undang Dasar. Pendapat ini baru dalam sejarah politik
Islam. Sebelumnya umat Islam hanya mengenal sistem
kekhalifahan yang mempunyai kekuasaan absolut.
Dalam pemerintah
republik, yang berkuasa adalah undang-undang dan hukum, bukan kepala negara. Ia
hanya kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan hukum yang
digaiskan oleh lembaga legislatif untuk memajukan
kemaslahatan rakyat.
Pendapat
Al-Afghani tersebut jelas dipengaruhi oleh
pemikiran Barat. Penafsiran Al-Afghani tersebut lebih maju dari
Muhammad Abduh. Islam dalam pemikian Abduh tidak menetapkan suatu bentuk
pemerintahan, Jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model
pemerintahan, maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan
masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir.
Pemunculan ide
Al-Afghani tersebut sebagai reaksi kepada salah
satu sebab kemunduran umat Islam yang bersifat politis, yaitu
pemerintahan absolut. Abduh pun melihat sikap jumud merupakan
penyebab kemunduran umat Islam, akibat dari pemeritnahan sewenang-wenang dan
absolut. Abduh, sebagaimana gurunya -Al-Alghani- berpendapat bahwa Islam punya
unsur dinamis, yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan jalan
ijtihad.
Di dalam
pemerintahan absolut dan otokrasi tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan
hanya pada raja/kepala negara untuk bertindak yang tidak diatur oleh
undang-undang. Karena itu, A-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan
absolut dan otokrasi diganti dengan corak pemerintahan demokrasi.Bukti
keinginan Al-Afghani akan pemerintahan yang demokratis, adalah penegasannya
tentang keharusan kepala negara mengadakan syura dengan
pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak pengalaman.
Pemerintahan
otokrasi yang cenderung meniadakan hak-hak individu tidak sesuai
dengan ajaran Islam yang sangat menghargai hak-hak individu.
Pemerintahan otokrasi yang mewujud dalam institusi khilafah saat itu harus
diganti dengan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi
hak-hak individu.
Pemerintah yang
demokratis menurut Al-Afghani menghendaki adanya Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Lembaga ini bertugas memberi usul dan pendapat kepada pemerintah dalam
menentukan suatu kebijaksanaan negara. Ide dari wakil rakyat yang
berpengalaman merupakan sumbangan yang berharga bagi pemerintah.
karenanya para wakil rakyat haruslah berpengalaman dan berwawasan
luas dan bermoral baik. Wakil-wakil tersebut akan membawa dampak positif pada
pemerintahan sehingga akan melahirkan undang-undang dan peraturan
atau keputusan yang baik bagi rakyat.
Demikian juga
para pemegang kekuasan haruslah orang-orang yang paling taat terhadap
undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh bukanlah karena kehebatan
suku, ras, kekuatan material dan kekayaannya. Model inilah yang berlaku di
dalam sistem khilafah, yang bagi Al-Afghani tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Baginya, kekuasan itu harus diperoleh melaluii pemilihan dan
disepakati oleh rakyat. Dengan demkian orang yang dipilih mempunyai dasar hukum
untuk melaksanakan kekuasaanya itu.
Meskipun semua
ide Al-Afghani bertujuan untuk mempersatukan umat Islam guna menghadapi
penetrasi Barat dan kekuatan Turki Usmani yang dipandangnya menyimpang dari
Islam, tapi ide Pan-Islaminya tidak jelas. Apakah bentuk kerjasama itu dalam
rangka mempersatukan umat Islam dalam bentuk asosiasi, atau dalam bentuk
federasi yang dipimpin oleh seseorang atau badan yang
mengkoordinasikan kerjasama tersebut, dan atau seperti
negara persemakmuran dibawah Negara Inggris.
Sumber :
http://buletinmitsal.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar