Kamis, 02 April 2015

Siapakah SAYYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI?




Ini ada sedikit info tentang tokoh Islam.
Hmm.. Sebenernya ini tugas sekolah adik.. -_-
Tapi apapun itu, semoga bermanfaat.. :)

SAYYID JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin Al-Afghani bin Shafdar Al-Husaini yang lahir pada tahun 1835 M di As’adabat dekat Kota Kunar yang termasuk kawasan distrik Kabul bagian timur Afghanistan. Ayahnya bernama Shafdar Al-Husaini, seorang bangsawan terhormat dan mempuyai nasab sampai ke Ali bin Abi Thalib dari jalur At-Tirmidzi, seorang perawi hadis yang termasyhur.
Di masa kecilnya Al-Afghani pindah ke kota Kabul beserta keluarganya. Sejak masa kecilnya telah nampak pada diri Al-Afghani kecerdasan dan kemauan yang besar untuk  menggali pengetahuan. Dalam usia delapan tahun ia mulai belajar disiplin ilmu  dan menguasai beberapa ilmu, diantaranya Al-Quran, bahasa Arab, hadits, fiqih, ilmu kalam, politik, sejarah, musik dan termasuk ilmu-ilmu eksak.
Dalam rangka menambah wawasan pengetahuannya, Al-Afghani melanjutkan studi ke India dan menetap disana selama satu tahun  untuk belajar pengetahuan-pengetahuan Barat dan metodologinya serta bahasa Inggris. Tahun 1857 ia menunaikan ibadah haji ke mekah dan sekembalinya di Afghanistan, ia diangkat menjadi pembantu pangeran Dost Muhammad Khan.
Pada taun  1864, Al-Afghani menjadi penasehat Sher Ali Khan dan pada masa Muhammad Azzam Khan menjadi perdana menteri. Karena terjadinya konflik dalam negeri Afghanistan, ia kembali menuju India untuk kedua kalinya pada tahun 1869.  Saat itu India jatuh ke tangan Inggris, oleh karenya ia memutuskan  untuk menuju Mesir pada tahun  1871. Di Mesir ia  sempat berkenalan dengan kalangan ulama Al-Azhar dan memberikan kuliah. Selanjutnya Al-Afghani pergi ke Turki dan diangkat sebagai anggota Majelis Pendidikan Turki dan sering diundang untuk menyampaikan ceramah di Aya Shofia dan  Masjid Sultan Ahmad.
Karena keberadaanya yang dianggap membahayakan posisi kepala pemerintahan, timbullah fitnah yang dilancarkan oleh Hasan Fahmi  Syaikh Al-Islam dengan mengatakan  bahwa ceramah-ceramah Al-Afghani banyak mengandung unsur penghinaan terhadap kenabian. Dengan alasan ingin menunaikan  haji, maka Al-Afghani meninggalkan Turki dan kemudian menetap di Mesir hingga tahun  1879. Pada masa inilah ide pemikiran dan aktivitas memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia Islam khususnya Mesir.
Al-Afghan telah mengunjungi beberapa kota di Eropa bahkan menetap di sana. Tahun 1882 berada diLondon, lalu satu tahun kemudain ke Paris, dan  kembali lagi menetap di London tahun 1885. Selanjutnya ke  Teheran, ke Moscow tahun 1887, ke Jerman dan akhirnya kembali lagi ke Teheran.
Pengalaman merantau inilah yang kemudian membentuk  wawasan berfikirnya yang luas, bebas dan demokratis yang tentunya telah banyak melahirkan banyak murid asli didikan dan binaan yang dilakukan Al-Afghani yang mewarnai sejarah pemikiran di dunia Islam. Akhirnya pada tahun 1897 ia wafat di Istanbul karena sakit.
Abad ke 19 hingga abad ke 20 merupakan suatu momentum dimana umat Islam memasuki suatu gerbang baru, gerbang pembaharuan. Fase ini kerap disebut sebagai abad modernisme, suatu abad dimana umat diperhadapkan dengan kenyataan bahwa Barat jauh mengungguli mereka. Keadaan ini membuat berbagai respon bermunculan, berbagai kalangan Islam merespon dengan cara yang berbeda berdasarkan pada corak keislaman mereka. Ada yang merespon dengan sikap akomodatif dan mengakui bahwa memang umat sedang terpuruk dan harus mengikuti bangsa Barat agar dapat bangkit dari keterpurukan itu. Ada pula yang merespon dengan menolak apapun yang datang dari Barat sebab mereka beranggapan bahwa itu diluar Islam. Kalangan ini menyakini Islamlah yang terbaik dan umat harus kembali pada dasar-dasar wahyu, kalangan ini kerap disebut dengan kaum revivalis.
Berbagai nama tokoh pun segera tampil dalam ingatan ketika disebutkan tentang abad modernisme Islam yang ditandai dengan dominasi Eropa ini. Dominasi Eropa atas dunia Islam, khusunya di bidang politik dan pemikiran ini ditanggapi dengan beragam cara sehingga melahirkan kalangan modernis dan fundamentalis. Modernisme cenderung akomodatif terhadap ide Barat meskipun kemudian mengembangkan sendiri ide-ide tersebut, sedangkan fundamentalisme menganggap apa–apa yang datang dari Barat adalah bukan berasal dari Islam dan tak layak untuk diambil. Fundamentalisme merupakan suatu paham yang lahir atau besar setelah fase modernisme.
Berbicara abad pembaharuan dalam Islam, maka tak lepas dari seorang tokoh yang merupakan sosok penting dalam pembaharuan Islam, Al-Afghani, seorang pembaharu yang memiliki keunikan, kekhasan, dan misterinya sendiri. Berangkat dari pembagian corak keIslaman di atas, Afghani menempati posisi yang unik dalam menanggapi dominasi Barat terhadap Islam. Di satu sisi, Afghani sangat moderat dengan mengakomodasi ide-ide yang datang dari Barat, ini dilakukannya demi memperbaiki kemerosotan umat. Namun di lain sisi, Afghani tampil begitu keras ketika itu berkenaan dengan masalah kebangsaan atau mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keIslaman. Alhasil Afghani memijakkan kedua kakinya di dua sisi berbeda, ia seorang modernis tapi juga fundamentalis. Agaknya tepat apa yang dikatakan Black bahwa Afghani adalah puncak dari kalangan modernis dan fondasi bagi kalangan fundamentalis.
Sayyid Jamaluddin Al-Afghani (1838/9-1897) merupakan salah satu tokoh yang pertama kali menyatakan kembali tradisi Muslim dengan cara yang sesuai untuk menjawab berbagai problem penting yang muncul akibat Barat semakin mengusik Timur Tengah di abad kesembilanbelas.
Sebagai modernis Islam pertama, yang pengaruhnya dirasakan di beberapa negara, Afghani memicu kecenderungan menolak tradisionalisme murni dan westernisme murni. Meski Afghani di kemudian hari –dan sejak meninggalnya– dikaitkan khususnya dengan Pan-Islam, dimana tulisan Pan-Islamnya menjadi bagian penting dari dasawarsa 1880-an. Dalam hidupnya dia mempromosikan berbagai sudut pandang yang sering bertentangan. Dan pikirannya juga memiliki afinitas dengan berbagai kecenderungan di dunia Muslim. Ini meliputi liberalisme Islam yang diserukan khususnya oleh Muhammad Abduh, orang Mesir yang menjadi muridnya.
Pada masa mudanya ia dididik di Iran, dan juga di kota-kota suci Syiah di Irak dia piawai dalam filsafat Islam dan juga dalam Syiah mazhab Syaikhi, yang merupakan ragam Syiah yang sangat filosofis pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas.
Tak seperti dunia Arab dan Turki, di mana kebanyakan filsafat yang mendapat inspirasinya dari Yunani selama berabad-abad tidak diajarkan karena dianggap menyimpang dari Islam, di Iran tradisi filsafat terus berlangsung. Buku-buku karya Ibn Sina dan di kemudian hari karya filosof Iran diajarkan di sekolah keagamaan.
Ketika Afghani ke Istanbul, pada tahun 1869-70, dia mengemukakan gagasan yang bersal dari filosof Islam. Dan ketika ke Mesir pada 1870-an, dia mengajar murid-murid mudanya terutama tentang filosof-filosof Iran ini.
Perjalanan yang panjang dalam hidup Afghani dilalui dengan berdakwah di banyak negara. Pada usia yang masih muda, sekitar 20 tahun, Afghani sudah pergi ke India dan berjuang untuk mengusir pemerintahan Inggris dari bumi Muslim di India. Setelah tinggal di India, Afghani pergi haji ke Makkah, lalu ke kota-kota suci Syiah, dan kemudian ke Afghanistan lewat Iran. Perjuangannya yang anti Inggris ini menyebabkan Afghani harus keluar dari Afghanistan pada Desember 1868, karena jatuhnya Azham Khan dan naik tahtanya ShirĂ¢ Ali yang pro Inggris. Kemudian dia ke Bombai, Kairo, lalu ke Istanbul pada 1869.
Pada 1870, Afghani diangkat menjadi menjadi Dewan Pendidikan Al-Utsmaniah resmi yang reformis. Karena ikatannya dengan berbagai ahli pendidikan terkemuka, dia diundang untuk menyampaikan kuliah umum. Namun kuliah umum ini menimbulkan reaksi yang keras dari para ulama, karena dianggap menyimpang dari agama. Akibatnya Afghani diusir dari Istanbul.
Setelah itu Afghani pergi ke Kairo. Di Kairo ini mendirikan Koran yang membahas isu-isu politik. Seiring dengan perubahan kekuasaan di Mesir, di bawah Pemerintahan yang Pro Inggeris, Taufiq. Afghani akhirnya diusir dari Mesir karena sikapnya yang anti Inggris. Kemudian Afghani pergi ke Hyderabad di India Selatan. Dari India Afghani ke London, dan kemudian pada 1883 ke Paris. Di Paris Afghani bersama dengan Muhammad Abduh, mereka menerbitkan koran berbahasa Arab, Al-Urwah Al-Wutsqa yang mendapat subsidi dari para pengagum. Sebelum meninggal pada tahun 1987 di Iran, Afghani sempat juga pergi ke Rusia, Eropa dan Irak.
Afghani merupakan figur besar dalam dunia Muslim. Penekanannya bahwa Islam merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menangkal Barat dan untuk meningkatkan solidaritas kaum Muslim, seruannya agar ada pembaruan dan perubahan di dalam sistem politik despotis yang berbendera Islam, serta serangannya terhadap mereka yang memihak imperialisme Barat atau yang memecah-belah umat Muslim, semuanya merupakan tema-tema yang diperjuangkannya.
Pemikiran
Tidak adanya kebersatuan di antara umat muslim merupakan titik strategis yang digunakan oleh kolonialisme Barat untuk menjajah dan sedapat mungkin mengeruk kekayaan negara-negara Islam. Lemahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan umat terhadap ilmu-ilmu Islam sendiri bahkan juga ilmu-ilmu lainnya menjustifikasi bahwa semangat intelektual yang sangat diagung-agungkan oleh Islam pudar kala itu.
Dengan segenap kesadaran dan semangat intelektual serta tanggung jawab sebagai seorang muslim, ia hadir demi menegakkan nasionalisme, patriotisme serta yang paling utama adalah izzul (kemuliaan) Islam. Ia berusaha menyadarkan masyarakat muslim yang masih sakau dalam mengenang kejayaan Islam di masa lalu, padahal dihadapan mereka berdiri kekuatan besar imperialisme Barat yang telah menghadang. Menurutnya, sudah selayaknya Islam bangkit dan melakukan gerakan intelektual ke depan mengikuti gerak pengetahuan modern.
Diperlukan perubahan radikal dalam pandangan umat, kecenderungan kepada keyakinan tradisional yang kaku harus ditransformasi pada keterbukaan pikiran dan rasionalisme yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Labih lanjut Al-Afghani menekankan akan semangat pengetahuan yang kala itu sedang redup di dunia Islam, dan malah bersemi di dunia Barat. Semangat yang ada di dunia Barat ini selaras dengan nilai-nilai Islam sejati yang seharusnya juga bersemi di kalangan masyarakat muslim.
Dengan demikian demi terealisasinya keinginanya dalam memajukan islam, setidaknya terdapat dua keadaan yang mesti dilakukan oleh umat muslim. Pertama, perubahan radikal signifikan dalam pola pikir mengenai ilmu pengetahuan dari yang sebelumnya bercirikan kekakuan kepada keterbukaan dan rasionalisme. Kedua, perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan yang dilakukan oleh imperialisme Barat.
Berkenaan dengan keadaan yang kedua, hal ini dapat kita lihat dari berbagai aktivitas yang ia lakukan, baik melalui tulisan-tulisannya atau pun melalui dakwah-dakwah yang ia sampaikan di berbagai belahan negara. Pada setiap negara yang ia pernah tinggal di sana, ia selalu menyerukan nasionalisme, terlepas dari agama yang dianut oleh suatu negara~. Di India misalnya yang kala itu sedang mengalami kondisi kritis, yakni berada di bawah kolonialisme Inggris, ia lebih mendukung nasionalisme urdu ketimbang Islam, karena tidak ada kebahagiaan selain dalam kebangsaan, dan tidak ada kebangsaan selain dalam bahasa.  Dengan demikian yang menjadi inti dari seruannya adalah perlawanan terhadap imperialisme barat. Demikian juga di Afghanistan dan Mesir yang juga berada di bawah imperialisme barat, yakni Inggris. Usahanya dalam menghapus intervensi asing akhirnya harus kandas, karena kedua penguasa di dua negara Islam tersebut berada di bawah bayang-bayang mereka yang akhirnya membuatnya tersingkir serta terusir. Kendati demikian, ia tidak patah semangat, melalui gerakan intelektual yang ia adakan di rumahnya sewaktu ia berada di Mesir, ia berdakwah serta berdiskusi dengan para cendekiawan, mahasiswa, serta tokoh-tokoh gerakan. Begitu juga dengan yang ia lakukan di Paris (Prancis) dengan mendirikan suatu organisasi, al-Urwatul Wutsqa.
Organisasi ini menerbitkan jurnal yang berisi seruan kepada umat muslim agar bersatu serta meninggalkan jubah fanatisme kelompok dan menolak penjajahan, menepis berbagai propaganda Barat terhadap dunia Islam yang menghasut kaum muslim agar meninggalkan Islam, karena selama seseorang masih berpegang teguh pada suatu agama niscaya ia tidak akan bangkit dari keterpurukan.
Kiprah Politik
Terkenal sebagai orator ulung dan politikus sejati, Al-Afghani selalu mendasarkan kegiatan agama dan politiknya pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Ia adalah seorang yang anti terhadap pemerintahan otoriter. Menurutnya, sistem pemerintahan yang sesuai dengan kondisi umat muslim adalah pemerintahan konstisusional atau republik dan konsep kewarganegaraan aktif. Bukannya tanpa sebab, pemerintahan otoriter tidaklah jauh berbeda dengan tirani. Bentuk pemerintahan seperti ini menafikan keaktifan warga negara selain juga rentan terhadap monopoli asing yang langsung tertuju pada penguasa suatu negara. Hasilnya dapat dilihat, dengan mudahnya imperialisme Barat menguasai serta mengintervensi bentuk pemerintahan absolut yang banyak digunakan sebagai sistem pemerintahan di banyak negara Islam.
Dalam perjuangan politiknya, Afghani kerap berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, ini dilakukannya sebab seringkali pada suatu negara ia mengalami pngusiran oleh penguasa setempat. Namun demikian talenta politik Afghani memang telah tampak sejak awal, bahkan ia lebih menonjol sebagai seorang aktivis gerakan politik ketimbang pemikir keagamaan. Pendapat tersebut dipaparkan Harun Nasution yang juga ia kutip dari berbagai pendapat semisal Stoddart maupun Goldzhier.
Pandangan ini memang bukan sekadar komentar, tapi suatu pandangan yang memiliki dasar. Jika kita amati kronologi perjalanan hidup Afghani, maka kita akan mendapati agenda beliau dipenuhi dengan aktivitas politik. Talenta politik ini memang sudah tampak sejak dini. Pada usia 22 tahun, ia membantu pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan, lalu pada usia kurang lebih 25 tahun ia menjadi penasihat Sher Ali Khan, dan beberapa tahun setelah itu Afghani diangkat sebagai perdana menteri oleh A’zam Khan.
Perjalanan politiknya ke berbagai negara pun patut mendapat sorotan, semua ia lakukan untuk menggoyang posisi penguasa yang otoriter, penguasa yang keluar dari rel amanat, dan juga untuk melawan dominasi barat atas negeri-negeri muslim. Namun ia kerap kali terlibat pertentangan dengan para pemimpin, kendati pemimpin itulah yang telah mengundangnya masuk ke negaranya. Misalnya saja pada kasus Iran, ia diundang ke Iran untuk urusan Iran-Rusia, namun sikap otoriter Syah membuatnya menentang Syah dan berpendapat bahwa Syah harus digulingkan. Namun pendiriannya ini membuatnya terusir dari Iran. Nasib yang lebih tragis diterimanya ketika ia Berada di turki, alih-alih menjadi penasihat Sultan Hamid II, Afghani malah berakhir sebagai tahanan kota hingga akhir hayatnya.
Gagasan Pan-Islamisme Al-Afghani
Pengalaman yang diserap Al-Afghani selama  lawatannya ke Barat  menumbuhkan semangatnya untuk mamajukan umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis  mulai hendak menancapkan dominasi politiknya di dunia Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-afghani. Adanya anggapan dasar yang dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti diungkapkan L. Stoddard, yakni :
-          Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya.
-          Semangat perang Salib masih tetap berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen. 
-          Negara-negara Kristen membela agamanya. Mereka memandang negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan dan menghalangi kemajuan Islam.
-          Kebencian terhadap umat Islam bukan hanya sebagian mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya.
-          Perasaan dan aspirasi umat Islam diejek dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan patriotosme di Barat, di Timur disebut fanatisme.
Menurut Al-Afghani, hal-hal tersebut di atas menuntut adanya persatuan umat Islam untuk menghadapi dunia Barat dan mempertahankannya dari keruntuhan. Disamping itu Al-Afghani melihat bahwa kondisi umat Islam sendiri memang berada dalam kemunduran yang mengkhawatirkan. Kemunduran  tersebut  menurutnya bukan karena ajaran Islam, tetapi oleh umat itu sendiri yang yang tidak berupaya mengubah nasibnya.
Perpecahan terjadi di kalangan  mereka maka pemerintahan  menjadi absolut, pemimpin  tidak dapat dipercaya, lemah dalam bidang militer dan ekonomi bersamaan dengan datangnya intervensi asing.
Menghadapi paham fatalisme, Al-Afghani mengajak umat Islam merebut peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahun Barat yang positif dan sesuai ajaran Islam. Dengan demikian, umat Islam akan dinamis dan tidak menerima apa adanya serta menyerukan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. Ia selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam ada kemerdekaan dan kedaulatan umat. pemerintah dapat saja dikritik dan tidak  berkuasa mutlak.
Al-Afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekerjasama dalam meraih kemajuan dan membebaskan diri dari itervensi Barat.Untuk tujuan di atas,  Al-Afghani mencetuskan ide Pan Islamisme. Semangat ini dikobarkan ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam kemunduran dan dominasi Barat.
Pan Islamisme (Al-Jami’iyyah Al-Islamiyyah) ialah rasa solidaritas seluruh umat Islam. Solidaritas seperti itu sudah ada dan diajarkan sejak Nabi SAW, baik dalam menghadapi kafir Quraisy ataupun  dalam kegiatan-kegiatan sebagai upaya menciptakan  kesejahteraan umat.
Semangat  pan Islamisme yang diserukan Al-Afghani memberikan pengaruah besar di kalangan umat terutama bagi para pemimpinnya. Hal ini kemudian menyadarkan  mereka akan besarnya ancaman Barat. Sultan Abdul Hamid dari Kerajaan Turki Usmani misalnya menyambut dengan penuh antusias. Ia mendirikan organisasi seruan Pan-Islamisme mengutus banyak orang ke berbagai negeri Islam dengan pesan agar umat Islam bersatu dan  melepaskan diri dari  pemerintahan Barat. Hal ini dilakukan oleh Sultan selama 30 tahun.
Seruan Pan-Islamisme menghasilkan  pengaruh yang sangat besar dan mendalam. Di berbagai negeri muslim telah lahir tokoh-tokoh di kalangan ummat yang berjuang menuntut kemerdekaan dari penjajah Barat, seperti Abdul Hamid di Turki, Muhamamd Abduh dan Saad Zaghlul di Mesir serta tokoh lainnya.
Konsep Negara menurut Al-Afghani
Selain Pan-Islamisme, Al-Afghani juga mengajukan konsep negara republik yang demokratis bagi negeri-negeri Islam. Al-Afghani banyak mencela sistem pemerintahan umat Islam yang bercorak otokratis monarki absolut. Menurutnya, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang memiliki banyak pengalaman. Pengetahuan manusia secara individu amat terbatas. Islam dalam pandangan Al-Afghani menghendaki pemerintahan Republik di mana kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada Undang-undang.
Menurut Al-Afghani, Islam menghendaki bentuk republik karena  di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan  kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Pendapat ini baru dalam sejarah politik Islam. Sebelumnya umat Islam hanya mengenal sistem kekhalifahan  yang mempunyai kekuasaan absolut.
Dalam pemerintah republik, yang berkuasa adalah undang-undang dan hukum, bukan kepala negara. Ia hanya kekuasaan untuk menjalankan undang-undang dan hukum  yang digaiskan oleh lembaga  legislatif untuk  memajukan kemaslahatan rakyat.
Pendapat Al-Afghani  tersebut jelas dipengaruhi oleh pemikiran  Barat. Penafsiran Al-Afghani tersebut lebih maju dari Muhammad Abduh. Islam dalam pemikian Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan, Jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk demikian pun harus mengikuti  perkembangan masyarakat dalam kehidupan  materi dan kebebasan berpikir.
Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai  reaksi kepada salah satu  sebab kemunduran umat Islam yang bersifat politis, yaitu pemerintahan  absolut. Abduh pun melihat sikap jumud merupakan penyebab kemunduran umat Islam, akibat dari pemeritnahan sewenang-wenang dan absolut. Abduh, sebagaimana gurunya -Al-Alghani- berpendapat bahwa Islam punya unsur dinamis, yang dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, dengan jalan ijtihad.
Di dalam pemerintahan absolut dan otokrasi tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan hanya pada raja/kepala negara untuk bertindak yang tidak diatur oleh undang-undang. Karena itu, A-Afghani menghendaki agar corak  pemerintahan absolut dan otokrasi diganti dengan corak pemerintahan demokrasi.Bukti keinginan Al-Afghani akan pemerintahan yang demokratis, adalah penegasannya tentang keharusan kepala negara  mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang banyak pengalaman.
Pemerintahan otokrasi yang cenderung  meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat  menghargai hak-hak individu. Pemerintahan otokrasi yang mewujud dalam institusi khilafah saat itu harus diganti dengan pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu.
Pemerintah yang demokratis menurut Al-Afghani menghendaki adanya Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga ini bertugas memberi usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu  kebijaksanaan negara. Ide dari wakil rakyat yang berpengalaman merupakan  sumbangan yang berharga bagi pemerintah. karenanya para wakil rakyat haruslah  berpengalaman dan berwawasan luas dan bermoral baik. Wakil-wakil tersebut akan membawa dampak positif pada pemerintahan sehingga akan  melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik bagi rakyat.
Demikian juga para pemegang kekuasan haruslah orang-orang yang paling taat terhadap undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh bukanlah karena  kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaannya. Model inilah yang berlaku di dalam sistem khilafah, yang bagi Al-Afghani tidak sesuai  dengan ajaran Islam. Baginya, kekuasan itu harus diperoleh melaluii pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demkian orang yang dipilih mempunyai dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaanya itu.
Meskipun  semua ide Al-Afghani bertujuan untuk mempersatukan umat Islam guna menghadapi penetrasi Barat dan kekuatan Turki Usmani yang dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islaminya tidak jelas. Apakah bentuk kerjasama itu dalam rangka mempersatukan umat Islam dalam bentuk asosiasi, atau dalam bentuk federasi yang dipimpin oleh seseorang atau badan yang mengkoordinasikan  kerjasama tersebut,  dan atau seperti negara persemakmuran dibawah Negara Inggris.
Sumber : http://buletinmitsal.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar